1. 1 Jam (DID Palembang
28 Juli-1 Agustus 2017)
|
Kontingen Jambi |
Banyak hal terlintas
dalam pikiran selama proses persiapan bahkan selama DID berlangsung. Begitu
banyak pertanyaan dan sugesti yang akhirnya menjadi perdebatan pribadi tentang bagaimana
kalau begini begitu, mengapa harus ini itu, apakah harus begini dan begitu
sehingga membuat benteng di kepala sendiri. Kondisi ini membuat saya kurang
bisa menikmati proses awal DID sebagai volunteer. Hanya saja, rasa penasaran
dan keingintahuan apa yang akan terjadi besok dan besok membuat berani
melangkah dan melepaskan diri dari zona nyaman. Ibarat mengosongkan cangkir
dengan melepas semua atribut agar penuh dengan hal baru. Pada proses ini berperan sebagai volunteer
penuh tugas dan tuntutan seklaigus sebagai peserta sungguh menjadi tantangan
yang luar biasa menguras tenaga dan pikiran.
Kegiatan yang cukup riuh
dan padat rasanya membuat semua orang seakan lebur dan mencair menjadi satu
bahkan melupakan sekat bahasa dan budaya. Penyambutan, opening ceremony dan
sesi keakraban yang sungguh luar biasa dan menyentuh hati banyak orang. Bahkan
peristiwa sederhana penyambutan kontingen di bandara mampu melahirkan paradigma
baru tentang begitu hangat dan sederhananya orang Indonesia di mata saudara/i
dari negara lain. Namun, bagi saya pribadi ada sebuah peristiwa tak terduga
yang sungguh menoreh dalam hati banyak orang.
Di hari ke 3 proses DID,
setelah bersenang-senang keliling banyak tempat yang menjadi ikon kota
Palembang, tersisa 1 jam yang akhirnya memberi warna tersendiri dalam proses
DID yang saya alami bersama keluarga angkat dan teman berbeda negara. Berawal
dari ketidaksengajaan untuk mengisi 1 jam kosong dan mencari tempat istirahat, saya
dan Tanya mengajak beberapa teman untuk istirahat di rumah keluarga tempat kami
live in. Kami memang sudah tahu bahwa Akong (sebutan untuk kakek) mengalami
stroke sudah hampir 20 tahun, hanya belum sempat menjenguk karena harus
berangkat pagi dan pulang hampir tengah malam. Teman yang kami ajak dengan
antusias ingin bertemu dan menghibur Akong. Maka selama hampir 30 menit kami
bernyanyi untuk menghibur Akong dan berdoa untuk kesembuhan beliau. Hal yang
sungguh tak diduga bahwa Akong ikut bersuara walaupun hanya gumaman saja tapi
wajahnya cerah dan ceria mengikuti alunan lagu. Tangannya pun bergerak dan dengan
hangat menggenggam Kevin dan menatap kami semua.
|
Bersama Oppa yang sakit
|
Setelah kunjungan singkat,
teman dari Malaysia (Joel dan Cherry) menghampiriku dan berkata ‘Dari kemaren
kita banyak bersenang-senang dan sorak sorai tapi hari ini saya merasa
diberkati sudah diajak ke sini dan bertemu Akong untuk menghibur beliau. Bonus
yang luar biasa.” Tentu saja tidak ketinggalan dengan logat Malaysianya. Ibu
Yanti (our beautiful foster mother) sebelum berpisah menyampaikan terima kasih
karena menghibur Akong. Apa yang kami perbuat untuk Akong benar-benar menyentuh
hati keluarga ini dan tak lupa ia memberi tanda salib dikeningku dan Tanya. Hal
yang jarang kudapati sebagai anak rantau dan mungkin juga Tanya.
|
proses buat pempek |
|
Lift nya jadi sasaran tembak |
|
Ngajarin budak India buat pempek |
Aku berpikir inilah
hadiah sesungguhnya dari proses DID ini. Bertemu dengan keluarga muda yang luar
biasa, teman-teman beda negara dan suku, mempunyai ikatan sederhana sebagai
kakak, abang dan teman (untuk pertama kalinya punya 2 adik yang panggil cece). Melebur
dalam keceriaan bersama orang yang tak pernah kita temui sebelumnya dan
merasakan suka cita sebagai orang Katolik ala orang muda. Orang muda Asia yang
beragam bukan hanya suku, budaya dan bahasa tapi bisa mengikat hubungan luar
biasa dalam cinta kasih.
|
Pempek tangan India made by Tanya Dcosta |
2. AYD Jogja 2-7 Agustus
2017
Rasanya seperti landak
yang meregangkan durinya ketika mendengar pengumuman harus dibandara pukul
04.30 padahal penerbangan pukul 8 pagi. Sial! Padahal kegiatan baru berakhir
pukul 10.30 dan harus packing. Begitulah keluhanku sebenarnya. Namun seperti
seorang murid yang siap diutus apapun kondisinya maka seluruh peserta AYD yang
juga murid-murid juga harus siap dengan semua konsekuensi perutusan yang
diterima.
Selama proses AYD semakin
beragam hal dijumpai dan tentunya perkenalan yang semakin luas dan banyak. Hari
pertama yang cukup panjang dan baru sehingga butuh adaptasi baru. Pada saat
persiapan misa pembuka, keriuhan tentunya terfokus pada arakan pakaian
tradisional dari berbagai daerah dan negara. Hal yang sangat mengesankan bahwa
komunikasi terjalin dari rasa saling penasaran dan keinginan untuk foto bersama
dan bahasa bukan menjadi kendala karena manusia kreatif menggunakan gerak
tubuh. Prosesi yang meriah dan riuh.
Hari-hari menjalankan
proses AYD, dipenuhi dengan suka cita orang muda, bernyanyi, ekspresi cinta
negara, misa setiap pagi, bertemu, berfoto, berbagi tanda mata, instagram,
facebook dan obrolan kampung halaman masing-masing. Namun, tak lupa menimba
kekuatan rohani lewat misa setiap hari dengan yang dipersembahkan dalam bahasa
Hindi, Mandarin, Korea, Jepang dan Inggris. Hanya saja ada beberapa pengalaman
yang begitu menarik bagiku.
Pertama adalah country
exibition yakni kesempatan mengenal ensiklik Laudato Si yang dijalankan di
negara masing-masing. Peserta diberi petunjuk dan diminta menebak lewat
kunjungan stand. Hanya saja hal yang menggelikan bahwa sepertinya banyak (ada
beberapa yang bertanya juga) mengisi jawaban dari kertas teman dan akhirnya
lupa bertanya pesan atau tema yang ingin disampaikan dari stand negara tersebut
lewat kampanye foto-foto mereka dan lebih mengejar stempel dari stand. Bisa
dipahami karena ada tawaran souvenir bagi yang berhasil menjawab semua dengan
benar tapi setidaknya bisa berinteraksi dengan banyak orang dan mengagumi
kekayaa budaya negara tersebut.
Kedua, mendapat
kesempatan berinteraksi dengan karya misi gereja di Indonesia lewat eksposure.
Pada kesempatan, saya berkesempatan bersentuhan dengan kehidupan anak-anak di
sekolah Pangudi Luhur, Kalirejo. Sejak dini mereka diajarkan dekat dan
mencintai alam lewat kurikulum sekolah. Bukan saja menanam, merawat tetapi
mereka diajarkan mencintai lewat doa kepada tanaman yang baru ditanam dan
menghargai makhluk lain yang mati dengan menguburkannya. Keceriaan mereka
dengan menyentuh tanah lewat tangan dan kaki tanpa alas sungguh sederhana dan
bebas. Bagi saya yang adalah guru di tengah anak-anak kota dimana orang tua
mengejar prestasi sekolah anak lewat satu les ke les lainnya atau mencoba
gudget tercanggih, pengalaman ini mengajarkan sebaliknya. Mereka bisa tertawa
senang lewat daun dan hewan-hewan yang mereka temui. Ditengah situasi manusia
menguras kekayaan alam tanpa belas kasih, anak-anak ini mencintai hal terkecil
dari alam lewat doa dan tindakan mereka.
Ketiga, dalam proses AYD,
beberapa rekan-rekan muda dari Muslim ikut berproses bersama peserta. Sebuah
pemandangan yang luar biasa. Ketika Indonesia sedang over dosis karena agama,
mereka hadir seperti oase yang menyejukkan dengan memperkenalkan Islam
Indonesia yang sederhana, ramah dan bergaul. Dalam perjalanan menuju tempat
eksposure, mereka begitu ramah memperkenalkan Islam. Bahkan salah seorang
dengan berani mengatakan bahwa mereka mempercayai bahwa Tuhan itu dua. Satu
Tuhanmu dan satu Tuhanku maka mereka menghargai dan menghormati kepercayaan
lain. Ketika rekan dari negara lain berbagi cerita bahwa di negara mereka
beberapa aliran Islam saling berperang, mereka berani berkata bahwa kami tidak
seperti itu dan dengan bangga mengatakan bahwa kami Islam Indonesia yang
mengimani Islam dengan cara Indonesia, yakni Pancasila. Sungguh pernyataan
berani yang menggugah hati, bahwa mereka menunjukkan hati mereka yang luar
biasa.
Diakhir semua proses AYD
yang cukup panjang, menerima rekonsiliasi lewat adorasi dan pengakuan dosa bagi
saya sebuah penutupan yang lengkap. Berdamai dengan Tuhan dan sesama serta siap
diutus menjadi rangkaian yang utuh. Bukan hanya menerima sekedar keriuhan dan
suka cita pesta tapi bisa menerima keriuhan dan suka cita juga lewat
pengampunan.
|
rasanya waktu jalan di Malioboro isinya peserta AYD semua |
Secara keseluruhan,
proses DID – AYD membuka perpektif yang baru dalam hidup saya. Seperti kata
seorang uskup (saya lupa namanya) bahwa kehadiran orang muda sebagai tanda
bahwa gereja diteruskan. Hanya saja sebagai gereja masa depan, orang muda
bukanlah pemain cadangan yang mulai berperan ketika waktunya tiba. Namun, orang
muda harus mulai berperan dari sekarang untuk ambil bagian hingga saatnya orang
muda bisa berdiri sendiri menentukan seperti apa gereja di masa depan. Ditengah
kemajuan tehnologi dan globalisasi, orang muda dengan mudah saja terseret dan
hanyut di dalamnya atau melupakan iman karena tergecet di tengah berbagai
kepentingan dan kebutuhan. Namun, kehadiran Asian Youth Day menjadi alarm bagi
orang muda untuk kembali memurnikan panggilan lewat baptisan yang diterima.
Keluar dari sikap ke ‘aku’ an dan kembali ke tengah masyarakat Asia yang
beragam dan mewartakan suka cita injil seperti jargon dan theme song ‘Joyful,
joss’. Mewartakan injil lewat spirit orang muda. Bagi saya pribadi DID – AYD
sesungguhnya adalah sekarang, setelah semua keriuhan dan suka cita pesta
berakhir. Kembali ke kehidupan bermasyarakat dan ber DID – AYD bersama
masyarakat dan jangan lupa mencintai alam lewat hal-hal kecil.
“To
every action there is always opposed an equal reaction.”
(Isaac
Newton)
Tetap
Joss, Jangan Lupa Joyful Joss
Bonus Pict
|
She called me 'Didi" |
|
Foster Family |
|
Olop is in the lake yow... |
|
Darryl and Tanya from India |
|
Amazing people |
|
Harry Potter from India |
|
Makan disini enak...yang dipalembang pasti tau |
|
Someone from Thailand..Katanya tuh hiasan kepala berat amit |
|
Gak sengaja ketemu sesama 'Garang" |
|
Karena ada Tanya dapat kesempatan pakai saree dari India (nepotisme dikit) |
|
Pinter narinya |
|
Pangudi Luhur Kalirejo |
|
Oppa di film Korea mah biasa. Oppa ikut AYD baru warbiasah #saranghaeoppa |
|
ini semut ikut AYD..kreatif |
|
Para uskup dan Mentri Jonan #kitadapat51%sahamFreePort |
|
small chat with Jesus |
|
Father from Bangladesh |
|
Kurang gawe |
|
Apalagi ini |
|
Uskup Semarang dapat patung Kanak-kanak Yesus #shootbyekopindhi |
|
Time to say Good bye |